PERMENAKER NO 5 TAHUN 2018 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LINGKUNGAN KERJA
BERITA
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
No.567,
2018 KEMENAKER. K3. Pencabutan.
PERATURAN
MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 5
TAHUN 2018
TENTANG
KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA
LINGKUNGAN
KERJA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5
dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 Mengenai Hygiene dalam Perniagaan
dan Kantor–Kantor serta ketentuan Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) huruf i,
huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja, perlu mengatur keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan
kerja;
b. bahwa dengan perkembangan teknologi dan
pemenuhan syarat keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan kerja serta
perkembangan peraturan perundang-undangan, perlu dilakukan perubahan atas
Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan,
Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja danTransmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan
Kerja;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang
Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 mengenai
Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor–Kantor (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1969 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2889);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012
tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309);
7. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010
tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;
8. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8
Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden serta
Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411); 9. Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan
Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1753);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LINGKUNGAN KERJA.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud
dengan:
1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja.
2. Higiene adalah usaha kesehatan preventif
yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha kesehatan individu maupun usaha
pribadi hidup manusia.
3. Sanitasi adalah usaha kesehatan preventif
yang menitikberatkan kegiatan kepada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.
4. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau
lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana Tenaga Kerja bekerja
atau yang sering dimasuki Tenaga Kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana
terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya termasuk semua ruangan, lapangan,
halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan
dengan Tempat Kerja tersebut.
5. Lingkungan Kerja adalah aspek Higiene di
Tempat Kerja yang di dalamnya mencakup faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi
dan psikologi yang keberadaannya di Tempat Kerja dapat mempengaruhi keselamatan
dan kesehatan Tenaga Kerja.
6. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan
Kerja yang selanjutnya disebut dengan K3 Lingkungan Kerja adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja
melalui pengendalian Lingkungan Kerja dan penerapan Higiene Sanitasi di Tempat
Kerja.
7. Nilai Ambang Batas yang selanjutnya
disingkat NAB adalah standar faktor bahaya di Tempat Kerja sebagai
kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat
diterima Tenaga Kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan,
dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam
seminggu.
8. Pajanan Singkat Diperkenankan yang
selanjutnya disingkat PSD adalah kadar bahan kimia di udara Tempat Kerja yang
tidak boleh dilampaui agar Tenaga Kerja yang terpajan pada periode singkat
yaitu tidak lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan
iritasi, kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan
lebih dari 4 kali dalam satu hari kerja.
9. Kadar Tertinggi Diperkenankan yang
selanjutnya disingkat KTD adalah kadar bahan kimia di udara Tempat Kerja yang
tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama Tenaga Kerja
melakukan pekerjaan.
10. Indeks Pajanan Biologi yang selanjutnya
disingkat IPB adalah kadar konsentrasi bahan kimia yang didapatkan dalam
spesimen tubuh Tenaga Kerja dan digunakan untuk menentukan tingkat pajanan
terhadap Tenaga Kerja sehat yang terpajan bahan kimia.
11. Faktor Fisika adalah faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja yang bersifat fisika, disebabkan oleh
penggunaan mesin, peralatan, bahan dan kondisi lingkungan di sekitar Tempat
Kerja yang dapat menyebabkan gangguan dan penyakit akibat kerja pada Tenaga
Kerja, meliputi Iklim Kerja, Kebisingan, Getaran, radiasi gelombang mikro,
Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet), radiasi Medan Magnet Statis, tekanan udara
dan Pencahayaan.
12. Faktor Kimia adalah faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja yang bersifat kimiawi, disebabkan oleh
penggunaan bahan kimia dan turunannya di Tempat Kerja yang dapat menyebabkan
penyakit pada Tenaga Kerja, meliputi kontaminan kimia di udara berupa gas, uap
dan partikulat.
13. Faktor Biologi adalah faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja yang bersifat biologi, disebabkan oleh
makhluk hidup meliputi hewan, tumbuhan dan produknya serta mikroorganisme yang
dapat menyebabkan penyakit akibat kerja.
14. Faktor Ergonomi adalah faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja, disebabkan oleh ketidaksesuaian antara fasilitas
kerja yang meliputi cara kerja, posisi kerja, alat kerja, dan beban angkat
terhadap Tenaga Kerja.
15. Faktor Psikologi adalah faktor yang
mempengaruhi aktivitas Tenaga Kerja, disebabkan oleh hubungan antar personal di
Tempat Kerja, peran dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
16. Iklim Kerja adalah hasil perpaduan antara
suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat
pengeluaran panas dari tubuh Tenaga Kerja sebagai akibat pekerjaannya meliputi
tekanan panas dan dingin. 17. Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe
Temperature Index) yang selanjutnya disingkat ISBB adalah parameter untuk
menilai tingkat Iklim Kerja panas yang merupakan hasil perhitungan antara suhu
udara kering, Suhu Basah Alami, dan Suhu Bola. 18. Suhu Kering adalah suhu yang
ditunjukkan oleh termometer Suhu Kering.
19. Suhu Basah Alami adalah suhu yang
ditunjukkan oleh termometer bola basah alami (Natural Wet Bulb Thermometer).
20. Suhu Bola adalah suhu yang ditunjukkan
oleh termometer bola (Globe Thermometer).
21. Tekanan Dingin adalah pengeluaran panas
akibat pajanan terus menerus terhadap dingin yang mempengaruhi kemampuan tubuh
untuk menghasilkan panas sehingga mengakibatkan hipotermia (suhu tubuh di bawah
36 derajat Celsius).
22. Kebisingan adalah semua suara yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat
kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
23. Getaran adalah gerakan yang teratur dari
benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya.
24. Radiasi Gelombang Radio atau Gelombang
Mikro adalah Radiasi Elektromagnetik dengan Frekuensi 30 (tiga puluh) kilo
hertz sampai 300 (tiga ratus) giga hertz.
25. Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) adalah
Radiasi Elektromagnetik dengan panjang gelombang 180 (seratus delapan puluh)
nano meter sampai 400 (empat ratus) nano meter.
26. Medan Magnet Statis adalah suatu medan
atau area yang ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik.
27. Tekanan Udara Ekstrim adalah tekanan udara
yang lebih tinggi atau tekanan udara yang lebih rendah dari tekanan udara
normal (1 atmosphere).
28. Kebersihan adalah bebas dari kotoran serta
rapih dan/atau tidak bercampur dengan unsur atau zat lain yang berbahaya.
29. Pencahayaan adalah sesuatu yang memberikan
terang (sinar) atau yang menerangi, meliputi Pencahayaan alami dan Pencahayaan
Buatan.
30. Pencahayaan Buatan adalah Pencahayaan yang
dihasilkan oleh sumber cahaya selain cahaya alami.
31. Bangunan Tempat Kerja adalah bagian dari
Tempat Kerja berupa gedung atau bangunan lain, gedung tambahan, halaman beserta
jalan, jembatan atau bangunan lainnya yang menjadi bagian dari Tempat Kerja
tersebut dan terletak dalam batas halaman perusahaan.
32. Toilet adalah fasilitas sanitasi tempat
buang air besar, kecil, tempat cuci tangan dan/atau muka. 33. Intensitas Cahaya
adalah jumlah rata-rata cahaya yang diterima pekerja setiap waktu pengamatan
pada setiap titik dan dinyatakan dalam satuan Lux.
34. Lux adalah satuan metrik ukuran cahaya
pada suatu permukaan.
35. Kualitas Udara Dalam Ruangan yang
selanjutnya disingkat KUDR adalah kualitas udara di ruangan Tempat Kerja, yang
dalam kondisi yang buruk yang disebabkan oleh pencemaran atau kontaminasi udara
Tempat Kerja, yang dapat menimbulkan gangguan kenyamanan kerja sampai pada
gangguan kesehatan Tenaga Kerja.
36. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
37. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
38. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas
memimpin langsung sesuatu Tempat Kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
39. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang
selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
40. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3
Lingkungan Kerja adalah Pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai keahlian khusus
di bidang K3 Lingkungan Kerja yang berwenang untuk melakukan kegiatan
pembinaan, Pemeriksaan, dan Pengujian bidang Lingkungan Kerja serta pengawasan,
pembinaan, dan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
41. Pemeriksaan Ketenagakerjaan yang
selanjutnya disebut Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pengawas Ketenagakerjaan untuk memastikan ditaatinya pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan di Perusahaan atau Tempat Kerja.
42. Pengujian Ketenagakerjaan yang selanjutnya
disebut Pengujian adalah kegiatan penilaian terhadap suatu objek Pengawasan
Ketenagakerjaan melalui perhitungan, analisis, pengukuran dan/atau pengetesan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau standar yang berlaku.
43. Penguji K3 adalah Pegawai Negeri Sipil
yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk
melakukan kegiatan Pengujian K3 dan kompetensi K3.
44. Pengujian K3 adalah serangkaian kegiatan
penilaian suatu obyek K3 secara teknis dan/atau medis yang mempunyai resiko
bahaya dengan cara memberi beban uji atau dengan teknik Pengujian lainnya
sesuai dengan ketentuan teknis atau medis yang telah ditentukan.
45. Unit Pelaksana Teknis Bidang K3 adalah
satuan organisasi yang mempunyai tugas melaksanakan Pengujian dan Pemeriksaan
K3, serta peningkatan kapasitas tenaga K3.
46. Ahli Higiene Industri adalah seseorang
yang mempunyai kompetensi yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
dibidang Higiene industri yang mempunyai kualifikasi Ahli Muda Higiene Industri
(HIMU), Ahli Madya Higiene Industri (HIMA), dan Ahli Utama Higiene Industri
(HIU).
47. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal
yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan dan K3.
48. Menteri adalah Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib melaksanakan
syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja.
Pasal 3
Syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. pengendalian Faktor Fisika dan Faktor Kimia
agar berada di bawah NAB;
b. pengendalian Faktor Biologi, Faktor
Ergonomi, dan Faktor Psikologi Kerja agar memenuhi standar;
c. penyediaan fasilitas Kebersihan dan sarana
Higiene di Tempat Kerja yang bersih dan sehat; dan
d. penyediaan personil K3 yang memiliki
kompetensi dan kewenangan K3 di bidang Lingkungan Kerja.
Pasal 4
Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bertujuan untuk mewujudkan Lingkungan Kerja
yang aman, sehat, dan nyaman dalam rangka mencegah kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.
Pasal 5
(1) Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan melalui kegiatan:
a. pengukuran dan pengendalian Lingkungan
Kerja; dan
b. penerapan Higiene dan Sanitasi.
(2) Pengukuran dan pengendalian Lingkungan
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi faktor:
a. fisika;
b. kimia;
c. biologi;
d. ergonomi; dan
e. psikologi
(3) Penerapan Higiene dan Sanitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Bangunan Tempat Kerja;
b. fasilitas Kebersihan;
c. kebutuhan udara; dan
d. tata laksana kerumahtanggaan.
BAB II
PENGUKURAN
DAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN KERJA
Bagian
Kesatu Umum
Pasal 6
(1) Pengukuran Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan untuk mengetahui tingkat pajanan
Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor
Psikologi terhadap Tenaga Kerja.
(2) Pengukuran Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan metoda uji yang ditetapkan
Standar Nasional Indonesia.
(3) Dalam hal metoda uji belum ditetapkan
dalam Standar Nasional Indonesia, pengukuran dapat dilakukan dengan metoda uji
lainnya sesuai dengan standar yang telah divalidasi oleh lembaga yang
berwenang.
Pasal 7
(1) Pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan agar tingkat
pajanan Faktor Fisika dan Faktor Kimia berada di bawah NAB.
(2)
Pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf
c, huruf d, dan huruf e dilakukan agar penerapan Faktor Biologi, Faktor
Ergonomi, dan Faktor Psikologi memenuhi standar.
(3) Pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai hirarki pengendalian
meliputi upaya: a. eliminasi; b. substitusi; c. rekayasa teknis; d.
administratif; dan/atau e. penggunaan alat pelindung diri
(4) Upaya eliminasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a merupakan upaya untuk menghilangkan sumber potensi bahaya yang
berasal dari bahan, proses, operasi, atau peralatan.
(5) Upaya substitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b merupakan upaya untuk mengganti bahan, proses, operasi atau
peralatan dari yang berbahaya menjadi tidak berbahaya.
(6) Upaya rekayasa teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c merupakan upaya memisahkan sumber bahaya dari Tenaga
Kerja dengan memasang sistem pengaman pada alat, mesin, dan/atau area kerja.
(7) Upaya administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d merupakan upaya pengendalian dari sisi Tenaga Kerja agar
dapat melakukan pekerjaan secara aman.
(8) Penggunaan alat pelindung diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e merupakan upaya penggunaan alat yang berfungsi
untuk mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari sumber bahaya.
Bagian
Kedua
Faktor
Fisika
Pasal 8
(1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Fisika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf a meliputi:
a. Iklim Kerja;
b. Kebisingan;
c. Getaran;
d. gelombang radio atau gelombang mikro;
e. sinar Ultra Ungu (Ultra Violet);
f. Medan Magnet Statis;
g. tekanan udara; dan
h. Pencahayaan.
(2) NAB Faktor Fisika sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf f tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 9
(1) Pengukuran dan pengendalian Iklim Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a harus dilakukan pada Tempat
Kerja yang memiliki sumber bahaya tekanan panas dan Tekanan Dingin.
(2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya
tekanan panas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang
terdapat sumber panas dan/atau memiliki ventilasi yang tidak memadai.
(3) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya
Tekanan Dingin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang
terdapat sumber dingin dan/atau dikarenakan persyaratan operasi.
(4) Jika hasil
pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
melebihi dari NAB atau standar harus dilakukan pengendalian.
(5) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan melalui:
a. menghilangkan sumber panas atau sumber dingin dari
Tempat Kerja;
b. mengganti alat, bahan, dan proses kerja yang menimbulkan
sumber panas atau sumber dingin;
c. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber
panas atau sumber dingin;
d. menyediakan sistem ventilasi;
e. menyediakan air
minum;
f. mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber panas atau
sumber dingin;
g. penggunaan baju kerja yang sesuai;
h. penggunaan alat
pelindung diri yang sesuai; dan/atau
i. melakukan pengendalian lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal
10
(1) Pengukuran dan pengendalian Kebisingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b harus dilakukan pada Tempat
Kerja yang memiliki sumber bahaya Kebisingan dari operasi peralatan kerja.
(2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya
Kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang
terdapat sumber Kebisingan terus menerus, terputus-putus, impulsif, dan
impulsif berulang.
(3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB harus dilakukan
pengendalian.
(4)
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melaksanakan
program pencegahan penurunan pendengaran dengan:
a. menghilangkan sumber Kebisingan dari Tempat
Kerja;
b. mengganti alat, bahan, dan proses kerja
yang menimbulkan sumber Kebisingan;
c. memasang pembatas, peredam suara, penutupan
sebagian atau seluruh alat;
d. mengatur atau membatasi pajanan Kebisingan
atau pengaturan waktu kerja;
e. menggunakan alat pelindung diri yang
sesuai; dan/atau
f. melakukan pengendalian lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal
11
(1) Pengukuran dan pengendalian Getaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c harus dilakukan pada Tempat
Kerja yang memiliki sumber bahaya Getaran dari operasi peralatan kerja.
(2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya
Getaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat
sumber Getaran pada lengan dan tangan dan Getaran seluruh tubuh.
(3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB harus dilakukan
pengendalian.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan:
a. menghilangkan sumber Getaran dari Tempat Kerja;
b. mengganti alat,
bahan, dan proses kerja yang menimbulkan sumber Getaran;
c. mengurangi pajanan
Getaran dengan menambah/menyisipkan damping/bantalan/ peredam di antara alat
dan bagian tubuh yang kontak dengan alat kerja;
d. membatasi pajanan Getaran
melalui pengaturan waktu kerja;
e. penggunaan alat pelindung diri yang sesuai;
dan/atau
f. melakukan pengendalian lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 12
(1) Pengukuran dan pengendalian Gelombang
Radio atau Gelombang Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d
harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Gelombang Radio
atau Gelombang Mikro.
(2) Tempat Kerja yang memiliki risiko Gelombang Radio
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat radiasi
elektromagnetik dengan frekwensi sampai dengan 300 MHz (tiga ratus mega hertz).
(3) Tempat Kerja yang memiliki Gelombang Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat radiasi elektromagnetik dengan
frekwensi di atas 300 GHz (tiga ratus giga hertz).
(4) Jika hasil pengukuran
Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) melebihi dari NAB harus
dilakukan pengendalian.
(5) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan dengan:
a. menghilangkan sumber Radiasi Gelombang Radio atau
Gelombang Mikro dari Tempat Kerja;
b. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber
Radiasi Gelombang Radio atau Gelombang Mikro;
c. merancang Tempat Kerja dengan
menggunakan peralatan proteksi radiasi;
d. membatasi waktu pajanan terhadap
sumber Radiasi Gelombang Radio atau Gelombang Mikro;
e. penggunaan alat
pelindung diri yang sesuai; dan/atau
f. melakukan pengendalian lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 13
1) Pengukuran dan
pengendalian Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf e harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber
bahaya Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet).
(2) Tempat Kerja yang memiliki
potensi bahaya Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat radiasi elektromagnetik dengan panjang
gelombang 180 (seratus delapan puluh) nano meter sampai 400 (empat ratus) nano
meter.
(3) Jika hasil pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian.
(4) Pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
a. menghilangkan sumber
Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet) dari Tempat Kerja;
b. mengisolasi atau membatasi
pajanan sumber Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet);
c. merancang Tempat Kerja dengan menggunakan
peralatan proteksi radiasi;
d. memberikan jarak aman sesuai dengan standar
antara sumber pajanan dan pekerja;
e. membatasi pajanan sumber Radiasi Ultra
Ungu (Ultra Violet) melalui pengaturan waktu kerja;
f. penggunaan alat
pelindung diri yang sesuai; dan/atau
g. melakukan pengendalian lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 14
(1) Pengukuran dan
pengendalian Medan Magnet Statis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf f harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Medan
Magnet Statis.
(2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Medan Magnet Statis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang terdapat suatu
medan atau area yang ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik.
(3) Jika hasil
pengukuran Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi dari NAB
harus dilakukan pengendalian.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan dengan:
a. menghilangkan sumber Medan Magnet Statis dari Tempat
Kerja;
b. mengganti alat, bahan, dan proses kerja yang menimbulkan sumber Medan
Magnet Statis;
c. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber Medan Magnet
Statis;
d. mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber Medan Magnet
Statis;
e. mengatur jarak aman sesuai dengan Standar Nasional Indonesia antara
sumber pajanan dan pekerja;
f. menggunaan alat pelindung diri yang sesuai;
dan/atau
g. melakukan pengendalian lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 15
(1) Pengendalian tekanan udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g harus dilakukan pada Tempat Kerja yang
memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim.
(2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang kedap air, di perairan yang dalam, dan pekerjaan di bawah tanah atau di bawah air.
(3) Jika hasil pemantauan Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan Tekanan Udara Ekstrim harus dilakukan pengendalian.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan:
a. menghindari pekerjaan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim;
b. mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim;
c. menggunakan baju kerja yang sesuai;
d. menggunakan alat pelindung diri yang sesuai; dan/atau
e. melakukan pengendalian lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(1) Pengukuran dan pengendalian Pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g harus dilakukan di Tempat Kerja.
(2) Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pencahayaan Alami; dan/atau
b. Pencahayaan Buatan. www.peraturan.go.id
(2) Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tempat Kerja yang kedap air, di perairan yang dalam, dan pekerjaan di bawah tanah atau di bawah air.
(3) Jika hasil pemantauan Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan Tekanan Udara Ekstrim harus dilakukan pengendalian.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan:
a. menghindari pekerjaan pada Tempat Kerja yang memiliki sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim;
b. mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya Tekanan Udara Ekstrim;
c. menggunakan baju kerja yang sesuai;
d. menggunakan alat pelindung diri yang sesuai; dan/atau
e. melakukan pengendalian lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 16
(1) Pengukuran dan pengendalian Pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g harus dilakukan di Tempat Kerja.
(2) Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pencahayaan Alami; dan/atau
b. Pencahayaan Buatan. www.peraturan.go.id
(3) Jika hasil pengukuran Pencahayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan standar dilakukan pengendalian
agar intensitas Pencahayaan sesuai dengan jenis pekerjaannya.
(4) Standar Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(1)
Pencahayaan Alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a
merupakan Pencahayaan yang dihasilkan oleh sinar matahari.
(2) Tempat Kerja yang menggunakan Pencahayaan alami, disain gedung harus menjamin Intensitas Cahaya sesuai standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
(1) Pencahayaan Buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b
dapat digunakan apabila Pencahayaan alami tidak memenuhi standar Intensitas
Cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
(2) Pencahayaan Buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh menyebabkan panas yang berlebihan atau mengganggu KUDR.
(1) Sarana Pencahayaan darurat harus disediakan untuk penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan darurat.
(2) Sarana Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. bekerja secara otomatis;
b. mempunyai intensitas Pencahayaan yang cukup untuk melakukan evakuasi dan/atau penyelamatan yang aman; dan
c. dipasang pada jalur evakuasi atau akses jalan keluar.
(3) Akses jalan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus dilengkapi garis penunjuk jalan keluar yang terbuat dari bahan reflektif dan/atau memancarkan cahaya. Bagian Ketiga Faktor Kimia
(1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Kimia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya bahan kimia.
(2) Pengukuran Faktor Kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pajanannya dan terhadap pekerja yang terpajan.
(3) Pengukuran terhadap pajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan NAB harus dilakukan paling singkat selama 6 (enam) jam.
(4) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan PSD, harus dilakukan paling singkat selama 15 (lima belas) menit sebanyak 4 (empat) kali dalam durasi 8 (delapan) jam kerja.
(5) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan KTD harus dilakukan menggunakan alat pembacaan langsung untuk memastikan tidak terlampaui.
(6) Pengukuran Faktor Kimia terhadap pekerja yang mengalami pajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Pemeriksaan kesehatan khusus pada spesimen tubuh Tenaga Kerja dan dibandingkan dengan IPB.
(7) NAB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan IPB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Standar Pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 17
(2) Tempat Kerja yang menggunakan Pencahayaan alami, disain gedung harus menjamin Intensitas Cahaya sesuai standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
Pasal 18
(2) Pencahayaan Buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh menyebabkan panas yang berlebihan atau mengganggu KUDR.
Pasal 19
(1) Sarana Pencahayaan darurat harus disediakan untuk penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan darurat.
(2) Sarana Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. bekerja secara otomatis;
b. mempunyai intensitas Pencahayaan yang cukup untuk melakukan evakuasi dan/atau penyelamatan yang aman; dan
c. dipasang pada jalur evakuasi atau akses jalan keluar.
(3) Akses jalan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus dilengkapi garis penunjuk jalan keluar yang terbuat dari bahan reflektif dan/atau memancarkan cahaya. Bagian Ketiga Faktor Kimia
Pasal 20
(1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Kimia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya bahan kimia.
(2) Pengukuran Faktor Kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pajanannya dan terhadap pekerja yang terpajan.
(3) Pengukuran terhadap pajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan NAB harus dilakukan paling singkat selama 6 (enam) jam.
(4) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan PSD, harus dilakukan paling singkat selama 15 (lima belas) menit sebanyak 4 (empat) kali dalam durasi 8 (delapan) jam kerja.
(5) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang hasilnya untuk dibandingkan dengan KTD harus dilakukan menggunakan alat pembacaan langsung untuk memastikan tidak terlampaui.
(6) Pengukuran Faktor Kimia terhadap pekerja yang mengalami pajanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Pemeriksaan kesehatan khusus pada spesimen tubuh Tenaga Kerja dan dibandingkan dengan IPB.
(7) NAB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan IPB sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 21
(1) Jika hasil pengukuran terhadap pajanan melebihi NAB dan hasil pengukuran Faktor Kimia terhadap Tenaga Kerja yang mengalami pajanan melebihi IPB harus dilakukan pengendalian.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. menghilangkan sumber potensi bahaya kimia dari Tempat Kerja;
b. mengganti bahan kimia dengan bahan kimia lain yang tidak mempunyai potensi bahaya atau potensi bahaya yang lebih rendah;
c. memodifikasi proses kerja yang menimbulkan sumber potensi bahaya kimia;
d. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia;
e. menyediakan sistem ventilasi;
f. membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia melalui pengaturan waktu kerja;
g. merotasi Tenaga Kerja;
h. ke dalam proses pekerjaan yang tidak terdapat potensi bahaya bahan kimia;
i. penyediaan lembar data keselamatan bahan dan label bahan kimia;
j. penggunaan alat pelindung diri yang sesuai; dan/atau
k. pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko. Bagian Keempat Faktor Biologi
Pasal 22
(1) Pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Faktor Biologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor Biologi.
(2) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. mikro organisma dan/atau toksinnya;
b. arthopoda dan/atau toksinnya;
c. hewan invertebrata dan/atau toksinnya;
d. alergen dan toksin dari tumbuhan;
e. binatang berbisa;
f. binatang buas; dan
g. produk binatang dan tumbuhan yang berbahaya lainnya.
(3) Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan pengukuran.
(4) Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan pemantauan.
(5) Dalam hal hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi standar harus dilakukan pengendalian.
(6) Dalam hal hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian.
(7) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g dilakukan pengendalian dengan:
a. menghilangkan sumber bahaya Faktor Biologi dari Tempat Kerja;
b. mengganti bahan, dan proses kerja yang menimbulkan sumber bahaya Faktor Biologi;
c. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya Faktor Biologi;
d. menyediakan sistem ventilasi;
e. mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya Faktor Biologi;
f. menggunakan baju kerja yang sesuai;
g. menggunakan alat pelindung diri yang sesuai;
h. memasang rambu-rambu yang sesuai;
i. memberikan vaksinasi apabila memungkinkan;
j. meningkatkan Higiene perorangan;
k. memberikan desinfektan;
b. arthopoda dan/atau toksinnya;
c. hewan invertebrata dan/atau toksinnya;
d. alergen dan toksin dari tumbuhan;
e. binatang berbisa;
f. binatang buas; dan
g. produk binatang dan tumbuhan yang berbahaya lainnya.
(3) Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan pengukuran.
(4) Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan pemantauan.
(5) Dalam hal hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi standar harus dilakukan pengendalian.
(6) Dalam hal hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian.
(7) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g dilakukan pengendalian dengan:
a. menghilangkan sumber bahaya Faktor Biologi dari Tempat Kerja;
b. mengganti bahan, dan proses kerja yang menimbulkan sumber bahaya Faktor Biologi;
c. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya Faktor Biologi;
d. menyediakan sistem ventilasi;
e. mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya Faktor Biologi;
f. menggunakan baju kerja yang sesuai;
g. menggunakan alat pelindung diri yang sesuai;
h. memasang rambu-rambu yang sesuai;
i. memberikan vaksinasi apabila memungkinkan;
j. meningkatkan Higiene perorangan;
k. memberikan desinfektan;
l. penyediaan fasilitas Sanitasi berupa air
mengalir dan antiseptik; dan/atau
m. pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.
(8) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilakukan pengendalian dengan:
a. menghilangkan dan/atau menghindari sumber bahaya binatang dari Tempat Kerja;
b. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya Faktor Biologi;
c. menggunakan alat pelindung diri yang sesuai;
d. memasang rambu-rambu yang sesuai; dan/atau
e. pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.
(9) Standar Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kelima Faktor Ergonomi
(1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor Ergonomi.
(2) Potensi bahaya Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. cara kerja, posisi kerja, dan postur tubuh yang tidak sesuai saat melakukan pekerjaan;
b. desain alat kerja dan Tempat Kerja yang tidak sesuai dengan antropometri Tenaga Kerja; dan
c. pengangkatan beban yang melebihi kapasitas kerja. (3) Jika hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian sehingga memenuhi standar. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
m. pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.
(8) Potensi bahaya Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilakukan pengendalian dengan:
a. menghilangkan dan/atau menghindari sumber bahaya binatang dari Tempat Kerja;
b. mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya Faktor Biologi;
c. menggunakan alat pelindung diri yang sesuai;
d. memasang rambu-rambu yang sesuai; dan/atau
e. pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.
(9) Standar Faktor Biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kelima Faktor Ergonomi
Pasal 23
(1) Pengukuran dan pengendalian Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor Ergonomi.
(2) Potensi bahaya Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. cara kerja, posisi kerja, dan postur tubuh yang tidak sesuai saat melakukan pekerjaan;
b. desain alat kerja dan Tempat Kerja yang tidak sesuai dengan antropometri Tenaga Kerja; dan
c. pengangkatan beban yang melebihi kapasitas kerja. (3) Jika hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat potensi bahaya harus dilakukan pengendalian sehingga memenuhi standar. (4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
a. menghindari posisi kerja yang janggal;
b. memperbaiki cara kerja dan posisi kerja;
c. mendesain kembali atau mengganti Tempat Kerja, objek kerja, bahan, desain Tempat Kerja, dan peralatan kerja;
d. memodifikasi Tempat Kerja, objek kerja, bahan, desain Tempat Kerja, dan peralatan kerja;
e. mengatur waktu kerja dan waktu istirahat;
f. melakukan pekerjaan dengan sikap tubuh dalam posisi netral atau baik; dan/atau
g. menggunakan alat bantu.
(5) Standar Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(1) Pengukuran
dan pengendalian Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf e harus dilakukan pada Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Faktor
Psikologi.
(2) Potensi bahaya Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ketidakjelasan/ketaksaan peran;
b. konflik peran;
c. beban kerja berlebih secara kualitatif;
d. beban kerja berlebih secara kuantitatif;
e. pengembangan karir; dan/atau
f. tanggung jawab terhadap orang lain.
(3) Jika hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat potensi bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan pengendalian sesuai standar.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah penilaian risiko dan didapatkan faktor yang berkontri
busi.
b. memperbaiki cara kerja dan posisi kerja;
c. mendesain kembali atau mengganti Tempat Kerja, objek kerja, bahan, desain Tempat Kerja, dan peralatan kerja;
d. memodifikasi Tempat Kerja, objek kerja, bahan, desain Tempat Kerja, dan peralatan kerja;
e. mengatur waktu kerja dan waktu istirahat;
f. melakukan pekerjaan dengan sikap tubuh dalam posisi netral atau baik; dan/atau
g. menggunakan alat bantu.
(5) Standar Faktor Ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Keenam Faktor Psikologi
Pasal 24
(2) Potensi bahaya Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ketidakjelasan/ketaksaan peran;
b. konflik peran;
c. beban kerja berlebih secara kualitatif;
d. beban kerja berlebih secara kuantitatif;
e. pengembangan karir; dan/atau
f. tanggung jawab terhadap orang lain.
(3) Jika hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat potensi bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan pengendalian sesuai standar.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah penilaian risiko dan didapatkan faktor yang berkontri
busi.
(5) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) melalui manajemen stress dengan:
a. melakukan pemilihan, penempatan dan pendidikan pelatihan bagi Tenaga Kerja;
b. mengadakan program kebugaran bagi Tenaga Kerja;
c. mengadakan program konseling;
d. mengadakan komunikasi organisasional secara memadai;
e. memberikan kebebasan bagi Tenaga Kerja untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan;
f. mengubah struktur organisasi, fungsi dan/atau dengan merancang kembali pekerjaan yang ada;
g. menggunakan sistem pemberian imbalan tertentu; dan/atau
h. pengendalian lainnya sesuai dengan kebutuhan.
(6) Standar Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Dalam hal terjadi kasus penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor Lingkungan Kerja dilakukan program pengendalian dan penanganan sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
a. melakukan pemilihan, penempatan dan pendidikan pelatihan bagi Tenaga Kerja;
b. mengadakan program kebugaran bagi Tenaga Kerja;
c. mengadakan program konseling;
d. mengadakan komunikasi organisasional secara memadai;
e. memberikan kebebasan bagi Tenaga Kerja untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan;
f. mengubah struktur organisasi, fungsi dan/atau dengan merancang kembali pekerjaan yang ada;
g. menggunakan sistem pemberian imbalan tertentu; dan/atau
h. pengendalian lainnya sesuai dengan kebutuhan.
(6) Standar Faktor Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 25
Dalam hal terjadi kasus penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor Lingkungan Kerja dilakukan program pengendalian dan penanganan sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI
Bagian Kesatu Bangunan Tempat Kerja
Pasal 26
(1) Higiene dan Sanitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a harus diterapkan pada setiap Bangunan Tempat
Kerja.
(2) Penerapan Higiene dan Sanitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. halaman;
b. gedung; dan
c. bangunan bawah tanah.
b. gedung; dan
c. bangunan bawah tanah.
Pasal 27
(1) Halaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (2) huruf a harus:
a. bersih, tertata rapi, rata, dan tidak becek; dan
b. cukup luas untuk lalu lintas orang dan barang.
a. bersih, tertata rapi, rata, dan tidak becek; dan
b. cukup luas untuk lalu lintas orang dan barang.
(2) Jika terdapat saluran air pembuangan pada halaman, maka saluran air harus tertutup dan terbuat dari bahan yang cukup kuat serta air buangan harus mengalir dan tidak boleh tergenang.
Pasal 28
(1) Penerapan Higiene dan Sanitasi pada gedung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b meliputi:
a. dinding dan langit-langit;
b. atap; dan
c. lantai.
(2) Penerapan Higiene dan Sanitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan gedung dalam kondisi:
a. terpelihara dan bersih;
b. kuat dan kokoh strukturnya; dan
c. cukup luas sehingga memberikan ruang gerak paling sedikit 2 (dua) meter persegi per orang. Pasal 29
a. terpelihara dan bersih;
b. kuat dan kokoh strukturnya; dan
c. cukup luas sehingga memberikan ruang gerak paling sedikit 2 (dua) meter persegi per orang. Pasal 29
Dinding dan langit-langit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a harus:
a. kering atau tidak lembab;
b. dicat dan/atau mudah dibersihkan;
c. dilakukan pengecatan ulang paling sedikit 5 (lima) tahun sekali; dan
d. dibersihkan paling sedikit 1 (satu) kali setahun.
b. dicat dan/atau mudah dibersihkan;
c. dilakukan pengecatan ulang paling sedikit 5 (lima) tahun sekali; dan
d. dibersihkan paling sedikit 1 (satu) kali setahun.
Pasal 30
Lantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) huruf b harus: a. terbuat dari bahan yang keras, tahan air, dan tahan
dari bahan kimia yang merusak;
b. datar, tidak licin, dan mudah dibersihkan; dan
c. dibersihkan secara teratur.
b. datar, tidak licin, dan mudah dibersihkan; dan
c. dibersihkan secara teratur.
Pasal 31
Atap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) huruf c harus:
a. mampu memberikan perlindungan dari panas matahari dan hujan; dan
b. tidak bocor, tidak berlubang, dan tidak berjamur. Paragraf 3 Bangunan Bawah Tanah
a. mampu memberikan perlindungan dari panas matahari dan hujan; dan
b. tidak bocor, tidak berlubang, dan tidak berjamur. Paragraf 3 Bangunan Bawah Tanah
Pasal 32
(1) Penerapan Higiene dan Sanitasi pada
bangunan bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c
dilakukan untuk memastikan bangunan bawah tanah:
a. mempunyai struktur yang kuat;
b. mempunyai sistem ventilasi udara;
c. mempunyai sumber Pencahayaan;
d. mempunyai saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik; dan
e. bersih dan terawat dengan baik.
a. mempunyai struktur yang kuat;
b. mempunyai sistem ventilasi udara;
c. mempunyai sumber Pencahayaan;
d. mempunyai saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik; dan
e. bersih dan terawat dengan baik.
(2) Dalam hal bangunan bawah tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang terbatas, penerapan Higiene dan Sanitasi dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1) Fasilitas Kebersihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b harus disediakan pada setiap Tempat Kerja.
(2) Fasilitas Kebersihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. Toilet dan kelengkapannya;
b. loker dan ruang ganti pakaian;
c. tempat sampah; dan d. peralatan Kebersihan.
a. Toilet dan kelengkapannya;
b. loker dan ruang ganti pakaian;
c. tempat sampah; dan d. peralatan Kebersihan.
Pasal
34
(1) Toilet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) huruf a harus:
a. bersih dan tidak menimbulkan bau;
b. tidak ada lalat, nyamuk, atau serangga yang lainnya;
c. tersedia saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik;
d. tersedia air bersih;
e. dilengkapi dengan pintu;
f. memiliki penerangan yang cukup;
g. memiliki sirkulasi udara yang baik;
h. dibersihkan setiap hari secara periodik; dan
i. dapat digunakan selama jam kerja.
a. bersih dan tidak menimbulkan bau;
b. tidak ada lalat, nyamuk, atau serangga yang lainnya;
c. tersedia saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik;
d. tersedia air bersih;
e. dilengkapi dengan pintu;
f. memiliki penerangan yang cukup;
g. memiliki sirkulasi udara yang baik;
h. dibersihkan setiap hari secara periodik; dan
i. dapat digunakan selama jam kerja.
(2) Kelengkapan fasilitas Toilet sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. jamban;
b. air bersih yang cukup;
c. alat pembilas;
d. tempat sampah;
e. tempat cuci tangan; dan
f. sabun. www.peraturan.go.id
a. jamban;
b. air bersih yang cukup;
c. alat pembilas;
d. tempat sampah;
e. tempat cuci tangan; dan
f. sabun. www.peraturan.go.id
(3) Penempatan Toilet sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus terpisah antara laki laki, perempuan, dan penyandang cacat,
serta diberikan tanda yang jelas.
(4) Dalam hal Perusahaan menyediakan tempat
mandi, persyaratan tempat mandi harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Untuk menjamin kecukupan atas kebutuhan
jamban dengan jumlah Tenaga Kerja dalam satu waktu kerja, harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) sampai 15 (lima belas) orang = 1 (satu) jamban;
b. untuk 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) orang = 2 (dua) jamban;
c. untuk 31 (tiga puluh satu) sampai 45 (empat puluh lima) orang = 3 (tiga) jamban;
d. untuk 46 (empat puluh enam) sampai 60 (enam puluh) orang = 4 (empat) jamban;
e. untuk 61 (enam puluh satu) sampai 80 (delapan puluh) orang = 5 (lima) jamban;
f. untuk 81 (delapan puluh satu) sampai 100 (seratus) orang = 6 (enam) jamban; dan
g. setiap penambahan 40 (empat puluh) orang ditambahkan 1 (satu) jamban.
a. untuk 1 (satu) sampai 15 (lima belas) orang = 1 (satu) jamban;
b. untuk 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) orang = 2 (dua) jamban;
c. untuk 31 (tiga puluh satu) sampai 45 (empat puluh lima) orang = 3 (tiga) jamban;
d. untuk 46 (empat puluh enam) sampai 60 (enam puluh) orang = 4 (empat) jamban;
e. untuk 61 (enam puluh satu) sampai 80 (delapan puluh) orang = 5 (lima) jamban;
f. untuk 81 (delapan puluh satu) sampai 100 (seratus) orang = 6 (enam) jamban; dan
g. setiap penambahan 40 (empat puluh) orang ditambahkan 1 (satu) jamban.
(6) Dalam hal Toilet laki-laki menyediakan
fasilitas peturasan, jumlah jamban tidak boleh kurang dari 2/3 (dua pertiga)
jumlah jamban yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam hal Tempat Kerja termasuk dalam area
konstruksi atau Tempat Kerja sementara, harus memenuhi ketentuan paling sedikit
sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) sampai 19 (sembilan belas) orang = 1 (satu)
jamban; b. untuk 20 (dua puluh) sampai 199 (seratus sembilan puluh sembilan)
orang = 1 (satu) jamban dan 1 (satu) peturasan untuk setiap 40 (empat puluh)
orang; c. untuk 200 (dua ratus) orang atau lebih = 1 (satu) jamban dan 1 (satu)
peturasan untuk setiap 50 (lima puluh) orang.
(8) Dalam hal terdapat Tenaga Kerja perempuan
di area konstruksi atau Tempat Kerja sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) maka harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 35
(1) Ruang Toilet paling sedikit berukuran
panjang 80 (delapan puluh) sentimeter, lebar 155 (seratus lima puluh lima)
sentimeter, dan tinggi 220 (dua ratus dua puluh) sentimeter dengan lebar pintu
70 (tujuh puluh) sentimeter.
(2) Ruang Toilet untuk penyandang disabilitas
harus memenuhi persyaratan:
a. Panjang 152,5 (seratus lima puluh dua koma
lima) sentimeter;
b. lebar 227,5 (dua ratus dua puluh tujuh koma
lima) sentimeter;
c. tinggi 240 (dua ratus empat puluh)
sentimeter;
d. mempunyai akses masuk dan keluar yang mudah
dilalui;
e. mempunyai luas ruang bebas yang cukup untuk
pengguna kursi roda bermanuver 180 (seratus delapan puluh) derajat;
f. lebar pintu masuk berukuran paling sedikit
90 (sembilan puluh) sentimeter yang mudah dibuka dan ditutup.
g. pintu Toilet dilengkapi dengan plat tendang
di bagian bawah pintu untuk pengguna kursi roda dan penyandang disabilitas
netra;
h. kemiringan lantai tidak lebih dari 7
(tujuh) persen; dan
i. mempunyai pegangan rambat untuk memudahkan
pengguna kursi roda berpindah dari kursi roda ke jamban ataupun sebaliknya.
Pasal 36
(1) Tenaga Kerja dalam perusahaan
tertentu dapat diwajibkan memakai pakaian kerja sesuai syarat-syarat K3 yang
ditetapkan.
(2) Pakaian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disediakan oleh Pengurus.
(3) Dalam hal Tenaga Kerja menggunakan pakaian kerja
hanya selama bekerja, Pengurus harus menyediakan ruang ganti pakaian yang
bersih, terpisah antara laki-laki dan perempuan serta pemakaiannya harus diatur
agar tidak berdesakan.
(4) Ruang ganti pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus tersedia tempat menyimpan pakaian/loker untuk setiap Pekerja yang
terjamin keamanannya.
Pasal 37
(1) Tempat sampah dan peralatan Kebersihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf c harus disediakan pada
setiap Tempat Kerja.
(2) Tempat sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus:
a. terpisah dan diberikan label untuk sampah organik, non organik, dan bahan berbahaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dilengkapi dengan penutup dan terbuat dari bahan kedap air; dan
d. tidak menjadi sarang lalat atau binatang serangga yang lain.
(1) Tempat pembuangan pembalut harus disediakan pada ruang Toilet perempuan.
(2) Tempat pembuangan pembalut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. terbuat dari bahan yang kedap cairan;
b. dilengkapi dengan penutup; dan c. diberikan label yang jelas.
(3) Tempat pembuangan pembalut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibersihkan setiap hari. Bagian Ketiga Kebutuhan Udara
(2) Tempat sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus:
a. terpisah dan diberikan label untuk sampah organik, non organik, dan bahan berbahaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dilengkapi dengan penutup dan terbuat dari bahan kedap air; dan
d. tidak menjadi sarang lalat atau binatang serangga yang lain.
Pasal
38
(1) Tempat pembuangan pembalut harus disediakan pada ruang Toilet perempuan.
(2) Tempat pembuangan pembalut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. terbuat dari bahan yang kedap cairan;
b. dilengkapi dengan penutup; dan c. diberikan label yang jelas.
(3) Tempat pembuangan pembalut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibersihkan setiap hari. Bagian Ketiga Kebutuhan Udara
Pasal 39
(1) Kebutuhan atas udara yang bersih dan sehat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c harus dipenuhi pada setiap
Tempat Kerja.
(2) Pemenuhan kebutuhan udara di Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. KUDR; b. ventilasi; dan c. ruang udara.
Pasal 40
(1) Tempat Kerja untuk melakukan jenis pekerjaan administratif, pelayanan umum dan fungsi manajerial harus memenuhi KUDR yang sehat dan bersih.
(2) KUDR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh suhu, kelembaban, kadar oksigen dan kadar kontaminan udara.
(3) Suhu ruangan yang nyaman harus dipertahankan dengan ketentuan:
a. Suhu Kering 230C (dua puluh tiga derajat celsius) – 260C (dua puluh enam derajat celsius) dengan kelembaban 40% (empat puluh persen) – 60% (enam puluh persen).
b. perbedaan suhu antar ruangan tidak melebihi 50C (lima derajat celsius).
(4) Kadar oksigen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar 19,5% (sembilan belas koma lima persen) sampai dengan 23,5% (dua puluh tiga koma lima persen) dari volume udara. (5) Kadar kontaminan atau polutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 41
(1) Pengurus dan/atau Pengusaha wajib menyediakan sistem ventilasi udara untuk menjamin kebutuhan udara Pekerja dan/atau mengurangi kadar kontaminan di Tempat Kerja.
(2) Sistem ventilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat alami atau buatan atau kombinasi keduanya.
(3) Dalam hal menggunakan ventilasi buatan maka ventilasi tersebut harus dibersihkan secara berkala paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
(1) Setiap orang yang bekerja dalam ruangan harus mendapat ruang udara (cubic space) paling sedikit 10 (sepuluh) meter kubik.
(2) Ruangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
a. tinggi Tempat Kerja diukur dari lantai sampai daerah langit-langit paling sedikit 3 (tiga) meter; dan
b. tinggi ruangan yang lebih dari 4 (empat) meter tidak dapat dipakai untuk memperhitungkan ruang udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Tata Laksana Kerumahtanggaan
Pasal 43
(1) Pengusaha dan/atau Pengurus harus melaksanakan ketatarumahtanggaan dengan baik di Tempat Kerja. (2) Ketatarumahtanggaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:
a. memisahkan alat, perkakas, dan bahan yang
diperlukan atau digunakan;
b. menata alat, perkakas, dan bahan sesuai dengan posisi yang ditetapkan;
c. membersihkan alat, perkakas, dan bahan secara rutin;
d. menetapkan dan melaksanakan prosedur Kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan;
e. mengembangkan prosedur Kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan.
(1) Alat kerja, perkakas, dan bahan harus ditata dan disimpan secara rapi dan tertib untuk menjamin kelancaran pekerjaan dan tidak menimbulkan bahaya kecelakaan.
(2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di gudang dan diberi label yang jelas untuk membedakan barang-barang tersebut.
(1) Pengukuran dan pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus dilakukan oleh personil K3 bidang Lingkungan Kerja.
(2) Personil K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja;
b. Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja; dan
c. Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja.
b. menata alat, perkakas, dan bahan sesuai dengan posisi yang ditetapkan;
c. membersihkan alat, perkakas, dan bahan secara rutin;
d. menetapkan dan melaksanakan prosedur Kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan;
e. mengembangkan prosedur Kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan.
Pasal 44
(1) Alat kerja, perkakas, dan bahan harus ditata dan disimpan secara rapi dan tertib untuk menjamin kelancaran pekerjaan dan tidak menimbulkan bahaya kecelakaan.
(2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di gudang dan diberi label yang jelas untuk membedakan barang-barang tersebut.
BAB IV PERSONIL K3
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 45
(1) Pengukuran dan pengendalian Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus dilakukan oleh personil K3 bidang Lingkungan Kerja.
(2) Personil K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja;
b. Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja; dan
c. Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja.
(3) Personil K3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memiliki kompetensi dan kewenangan K3 bidang lingkungan kerja.
(4) Sertifikasi kompetensi personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kewenangan personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan lisensi K3 dan surat keputusan penunjukan.
Kompetensi personil K3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri.
Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah Diploma 3 (tiga);
b. berpengalaman paling sedikit 1 (satu) tahun dalam membantu pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja;
c. memiliki sertifikat kompetensi sesuai bidangnya; dan
d. berbadan sehat berdasarkan surat keterangan dari dokter.
Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah Diploma 3 (tiga);
(4) Sertifikasi kompetensi personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kewenangan personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan lisensi K3 dan surat keputusan penunjukan.
Bagian
Kedua
Kompetensi Personil K3
Pasal 46
Bagian Ketiga
Persyaratan Penunjukan
Personil K3
Pasal 47
a. berpendidikan paling rendah Diploma 3 (tiga);
b. berpengalaman paling sedikit 1 (satu) tahun dalam membantu pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja;
c. memiliki sertifikat kompetensi sesuai bidangnya; dan
d. berbadan sehat berdasarkan surat keterangan dari dokter.
Pasal 48
Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah Diploma 3 (tiga);
b. berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun
sebagai Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja;
c. memiliki sertifikat kompetensi sesuai bidangnya; dan
d. berbadan sehat berdasarkan surat keterangan dari dokter.
Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah Diploma 3 (tiga);
b. berpengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun sebagai Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja;
c. memiliki sertifikat kompetensi sesuai bidangnya; dan
d. berbadan sehat berdasarkan surat keterangan dari dokter. Bagian Keempat Tata Cara Memperoleh Lisensi K3
(1) Untuk memperoleh lisensi K3 Ahli K3 Lingkungan Kerja, Pengusaha dan/atau Pengurus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. fotokopi ijazah terakhir;
b. surat keterangan pengalaman kerja yang diterbitkan oleh perusahaan;
c. surat keterangan sehat dari dokter;
d. fotokopi kartu tanda penduduk;
e. fotokopi sertifikat kompetensi:
1) Ahli Muda Higiene Industri (HIMU) untuk mendapatkan lisensi K3 Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja;
2) Ahli Madya Higiene Industri (HIMA) untuk mendapatkan lisensi K3 Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja;
3) Ahli Utama Higiene Industri (HIU) untuk mendapatkan lisensi K3 Ahli Utama K3 Lingkungan Kerja.
c. memiliki sertifikat kompetensi sesuai bidangnya; dan
d. berbadan sehat berdasarkan surat keterangan dari dokter.
Pasal 49
Personil yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah Diploma 3 (tiga);
b. berpengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun sebagai Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja;
c. memiliki sertifikat kompetensi sesuai bidangnya; dan
d. berbadan sehat berdasarkan surat keterangan dari dokter. Bagian Keempat Tata Cara Memperoleh Lisensi K3
Pasal 50
(1) Untuk memperoleh lisensi K3 Ahli K3 Lingkungan Kerja, Pengusaha dan/atau Pengurus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. fotokopi ijazah terakhir;
b. surat keterangan pengalaman kerja yang diterbitkan oleh perusahaan;
c. surat keterangan sehat dari dokter;
d. fotokopi kartu tanda penduduk;
e. fotokopi sertifikat kompetensi:
1) Ahli Muda Higiene Industri (HIMU) untuk mendapatkan lisensi K3 Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja;
2) Ahli Madya Higiene Industri (HIMA) untuk mendapatkan lisensi K3 Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja;
3) Ahli Utama Higiene Industri (HIU) untuk mendapatkan lisensi K3 Ahli Utama K3 Lingkungan Kerja.
f. 2 (dua) lembar pas foto berwarna ukuran 2 x
3 (dua kali tiga) dan 4 x 6 (empat kali enam).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Pemeriksaan dokumen oleh tim.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan lisensi K3.
(1) Lisensi K3 berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pengusaha dan/atau Pengurus kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan lisensi K3.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa berlaku lisensi K3 berakhir.
Lisensi K3 hanya berlaku selama Ahli K3 Lingkungan Kerja yang bersangkutan bekerja di perusahaan yang mengajukan permohonan.
(1) Dalam hal sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e belum ada, dapat menggunakan surat keterangan telah mengikuti pembinaan K3 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.
(2) Surat keterangan telah mengikuti pembinaan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pembinaan dengan pedoman pelaksanaan pembinaan tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Pemeriksaan dokumen oleh tim.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan lisensi K3.
Pasal 51
(1) Lisensi K3 berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pengusaha dan/atau Pengurus kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan lisensi K3.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa berlaku lisensi K3 berakhir.
Pasal 52
Lisensi K3 hanya berlaku selama Ahli K3 Lingkungan Kerja yang bersangkutan bekerja di perusahaan yang mengajukan permohonan.
Pasal 53
(1) Dalam hal sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e belum ada, dapat menggunakan surat keterangan telah mengikuti pembinaan K3 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.
(2) Surat keterangan telah mengikuti pembinaan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pembinaan dengan pedoman pelaksanaan pembinaan tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kelima
Tugas dan Kewenangan
Pasal 54
(1) Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a merupakan Tenaga Kerja yang memiliki tugas untuk:
a. melaksanakan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 lingkungan kerja;
b. melaksanakan program antisipasi, rekognisi, evaluasi, dan pengendalian bahaya lingkungan kerja;
c. melaksanakan dan mengantisipasi resiko kesehatan kerja yang disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
d. melaksanakan program promosi kesehatan Tenaga Kerja;
e. melaksanakan teknik pengambilan dan pengukuran sampel, meliputi Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi;
f. melaksanakan persyaratan Higiene dan Sanitasi lingkungan kerja;
g. melaksanakan sistem informasi K3 Lingkungan Kerja; dan
h. menyusun laporan pengukuran dan pengendalian bahaya Lingkungan Kerja serta penerapan Higiene dan Sanitasi di Tempat Kerja. (2) Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b merupakan Tenaga Kerja yang memiliki tugas untuk:
a. mengelola pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 lingkungan kerja;
b. mengelola pelaksanaan program antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian bahaya lingkungan kerja;
c. mengelola pelaksanaan antisipasi resiko
kesehatan kerja yang disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
d. mengelola pelaksanaan program promosi kesehatan Tenaga Kerja;
e. mengelola pelaksanaan teknik pengambilan dan pengukuran sampel, meliputi Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi;
f. mengelola pelaksanaan persyaratan Higiene dan Sanitasi lingkungan kerja;
g. mengelola pelaksanaan sistem informasi K3 Lingkungan Kerja;
h. melaksanakan modifikasi terhadap program K3 Lingkungan Kerja;
i. melaksanakan dan mengelola manajemen program K3 Lingkungan Kerja;
j. melaksanakan dan mengelola penilaian resiko kesehatan Tenaga Kerja;
k. melaksanakan dan mengelola program pengendalian resiko kesehatan Tenaga Kerja akibat pajanan bahaya lingkungan kerja;
l. melaksanakan dan mengelola Pemeriksaan dan analisa penyebab kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang ditimbulkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
m. melaksanakan dan mengelola pelaksanaan identifikasi kebutuhan peralatan pengambilan sampel dan pengukuran;
n. merumuskan, dan memodifikasi pelaksanaan sistim informasi K3 Lingkungan Kerja;
o. melaksanakan dan mengelola inspeksi K3 lingkungan kerja; dan
p. mengelola penyusunan laporan pengukuran dan pengendalian bahaya Lingkungan Kerja serta penerapan Higiene dan Sanitasi di Tempat Kerja.
d. mengelola pelaksanaan program promosi kesehatan Tenaga Kerja;
e. mengelola pelaksanaan teknik pengambilan dan pengukuran sampel, meliputi Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi;
f. mengelola pelaksanaan persyaratan Higiene dan Sanitasi lingkungan kerja;
g. mengelola pelaksanaan sistem informasi K3 Lingkungan Kerja;
h. melaksanakan modifikasi terhadap program K3 Lingkungan Kerja;
i. melaksanakan dan mengelola manajemen program K3 Lingkungan Kerja;
j. melaksanakan dan mengelola penilaian resiko kesehatan Tenaga Kerja;
k. melaksanakan dan mengelola program pengendalian resiko kesehatan Tenaga Kerja akibat pajanan bahaya lingkungan kerja;
l. melaksanakan dan mengelola Pemeriksaan dan analisa penyebab kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang ditimbulkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
m. melaksanakan dan mengelola pelaksanaan identifikasi kebutuhan peralatan pengambilan sampel dan pengukuran;
n. merumuskan, dan memodifikasi pelaksanaan sistim informasi K3 Lingkungan Kerja;
o. melaksanakan dan mengelola inspeksi K3 lingkungan kerja; dan
p. mengelola penyusunan laporan pengukuran dan pengendalian bahaya Lingkungan Kerja serta penerapan Higiene dan Sanitasi di Tempat Kerja.
(3) Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c merupakan Tenaga Kerja yang memiliki
kewenangan untuk:
a. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 lingkungan kerja;
b. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan program antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian bahaya lingkungan kerja;
c. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan program antisipasi resiko kesehatan kerja yang disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
d. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan program promosi kesehatan Tenaga Kerja;
e. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan teknik pengambilan dan pengukuran sampel, meliputi Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi;
f. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan persyaratan Higiene dan Sanitasi lingkungan kerja;
g. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan sistem informasi K3 Lingkungan Kerja;
h. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan modifikasi terhadap program K3 Lingkungan Kerja;
i. mengelola dan mengevaluasi manajemen program K3 Lingkungan Kerja;
j. mengelola dan mengevaluasi penilaian resiko kesehatan Tenaga Kerja;
k. mengelola dan mengevaluasi program pengendalian resiko kesehatan Tenaga Kerja akibat pajanan bahaya lingkungan kerja;
l. mengelola dan mengevaluasi Pemeriksaan dan analisa penyebab kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang ditimbulkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
m. mengelola dan mengevalusi pelaksanaan identifikasi kebutuhan peralatan pengambilan sampel dan pengukuran;
n. mengelola dan mengevaluasi pelaksanan sistim informasi K3 Lingkungan Kerja;
o. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan inspeksi K3 lingkungan kerja;
p. mengelola dan mengevaluasi laporan pengukuran dan pengendalian bahaya Lingkungan Kerja serta penerapan Higiene dan Sanitasi di Tempat Kerja;
q. mengelola dan mengevaluasi metoda pembacaan dan menganalisa hasil pengukuran data;
r. mengevaluasi dan memverifikasi hasil dari tindakan pengendalian pajanan yang dapat mengganggu kesehatan;
s. mengevaluasi dan menyimpulkan hasil analisa dari pengukuran sampel lingkungan kerja;
t. mengevaluasi dan memodifikasi program pengendalian pajanan risiko kesehatan secara teknis sebagai metoda pengendalian utama;
u. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian pajanan risiko kesehatan secara administrasi dan penggunaan alat pelindung diri; dan
v. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan bimbingan terhadap kontraktor terkait program K3 Lingkungan Kerja.
(1) Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk:
a. memasuki Tempat Kerja sesuai dengan penunjukkannya; dan
b. menentukan program K3 lingkungan kerja. (2) Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk:
a. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan standar yang berkaitan dengan bidang K3 lingkungan kerja;
b. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan program antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian bahaya lingkungan kerja;
c. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan program antisipasi resiko kesehatan kerja yang disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
d. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan program promosi kesehatan Tenaga Kerja;
e. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan teknik pengambilan dan pengukuran sampel, meliputi Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi;
f. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan persyaratan Higiene dan Sanitasi lingkungan kerja;
g. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan sistem informasi K3 Lingkungan Kerja;
h. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan modifikasi terhadap program K3 Lingkungan Kerja;
i. mengelola dan mengevaluasi manajemen program K3 Lingkungan Kerja;
j. mengelola dan mengevaluasi penilaian resiko kesehatan Tenaga Kerja;
k. mengelola dan mengevaluasi program pengendalian resiko kesehatan Tenaga Kerja akibat pajanan bahaya lingkungan kerja;
l. mengelola dan mengevaluasi Pemeriksaan dan analisa penyebab kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang ditimbulkan oleh pajanan bahaya lingkungan kerja;
m. mengelola dan mengevalusi pelaksanaan identifikasi kebutuhan peralatan pengambilan sampel dan pengukuran;
n. mengelola dan mengevaluasi pelaksanan sistim informasi K3 Lingkungan Kerja;
o. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan inspeksi K3 lingkungan kerja;
p. mengelola dan mengevaluasi laporan pengukuran dan pengendalian bahaya Lingkungan Kerja serta penerapan Higiene dan Sanitasi di Tempat Kerja;
q. mengelola dan mengevaluasi metoda pembacaan dan menganalisa hasil pengukuran data;
r. mengevaluasi dan memverifikasi hasil dari tindakan pengendalian pajanan yang dapat mengganggu kesehatan;
s. mengevaluasi dan menyimpulkan hasil analisa dari pengukuran sampel lingkungan kerja;
t. mengevaluasi dan memodifikasi program pengendalian pajanan risiko kesehatan secara teknis sebagai metoda pengendalian utama;
u. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian pajanan risiko kesehatan secara administrasi dan penggunaan alat pelindung diri; dan
v. mengelola dan mengevaluasi pelaksanaan bimbingan terhadap kontraktor terkait program K3 Lingkungan Kerja.
Pasal 55
(1) Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk:
a. memasuki Tempat Kerja sesuai dengan penunjukkannya; dan
b. menentukan program K3 lingkungan kerja. (2) Ahli K3 Madya Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk:
a. memasuki Tempat Kerja sesuai dengan
penunjukkannya;
b. menentukan program K3 lingkungan kerja;
c. mengawasi pelaksanaan program K3 lingkungan kerja; dan
d. menetapkan rekomendasi teknis terhadap syarat K3 lingkungan kerja.
(3) Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk:
a. memasuki Tempat Kerja sesuai dengan penunjukkannya;
b. menentukan program K3 lingkungan kerja;
c. mengawasi pelaksanaan program K3 lingkungan kerja;
d. menetapkan rekomendasi teknis terhadap syarat K3 lingkungan kerja; dan
e. mengevaluasi dan menetapkan program pengembangan K3 Lingkungan Kerja.
Personil K3 bidang Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) berkewajiban untuk:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan standar yang telah ditetapkan;
b. melaporkan pada atasan langsung mengenai kondisi pelaksanaan pengukuran, pengendalian lingkungan kerja, dan penerapan Higiene Sanitasi;
c. bertanggungjawab atas hasil pelaksanaan pengukuran, pengendalian lingkungan kerja, dan penerapan Higiene Sanitasi di Tempat Kerja;
d. membantu Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja dalam melaksanakan pemeriksaaan dan Pengujian K3 Lingkungan Kerja; dan
b. menentukan program K3 lingkungan kerja;
c. mengawasi pelaksanaan program K3 lingkungan kerja; dan
d. menetapkan rekomendasi teknis terhadap syarat K3 lingkungan kerja.
(3) Ahli K3 Utama Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c merupakan Tenaga Kerja yang memiliki kewenangan untuk:
a. memasuki Tempat Kerja sesuai dengan penunjukkannya;
b. menentukan program K3 lingkungan kerja;
c. mengawasi pelaksanaan program K3 lingkungan kerja;
d. menetapkan rekomendasi teknis terhadap syarat K3 lingkungan kerja; dan
e. mengevaluasi dan menetapkan program pengembangan K3 Lingkungan Kerja.
Bagian Keenam
Kewajiban Personil K3
Pasal 56
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan standar yang telah ditetapkan;
b. melaporkan pada atasan langsung mengenai kondisi pelaksanaan pengukuran, pengendalian lingkungan kerja, dan penerapan Higiene Sanitasi;
c. bertanggungjawab atas hasil pelaksanaan pengukuran, pengendalian lingkungan kerja, dan penerapan Higiene Sanitasi di Tempat Kerja;
d. membantu Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja dalam melaksanakan pemeriksaaan dan Pengujian K3 Lingkungan Kerja; dan
e. melaksanakan kode etik profesi. Bagian
Ketujuh Pencabutan Lisensi K3
Lisensi K3 dapat dicabut apabila personil K3 bidang Lingkungan Kerja:
a. melaksanakan tugas tidak sesuai dengan penugasan dan Lisensi K3;
b. melakukan kesalahan, kelalaian, dan kecerobohan yang menimbulkan keadaan berbahaya atau kecelakaan kerja; dan/atau
c. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(1) Setiap Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Lingkungan Kerja wajib dilakukan Pemeriksaan dan/atau Pengujian.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan mengamati, menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi kondisi Lingkungan Kerja untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengetesan dan pengukuran kondisi Lingkungan Kerja yang bersumber dari alat, bahan, dan proses kerja untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan pajanan terhadap Tenaga Kerja untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 57
Lisensi K3 dapat dicabut apabila personil K3 bidang Lingkungan Kerja:
a. melaksanakan tugas tidak sesuai dengan penugasan dan Lisensi K3;
b. melakukan kesalahan, kelalaian, dan kecerobohan yang menimbulkan keadaan berbahaya atau kecelakaan kerja; dan/atau
c. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
BAB V
PEMERIKSAAN
DAN PENGUJIAN
Pasal 58
(1) Setiap Tempat Kerja yang memiliki potensi bahaya Lingkungan Kerja wajib dilakukan Pemeriksaan dan/atau Pengujian.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan mengamati, menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi kondisi Lingkungan Kerja untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengetesan dan pengukuran kondisi Lingkungan Kerja yang bersumber dari alat, bahan, dan proses kerja untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan pajanan terhadap Tenaga Kerja untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 59
(1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilakukan secara internal maupun melibatkan lembaga eksternal dari luar Tempat Kerja.
(2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengukur besaran pajanan sesuai dengan risiko Lingkungan Kerja dan tidak menggugurkan kewajiban Tempat Kerja untuk melakukan pengukuran dengan pihak eksternal.
(3) Pemeriksaan dan/atau Pengujian secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan oleh personil K3 bidang Lingkungan Kerja.
(4) Lembaga eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Unit Pelaksana Teknis Pengawasan Ketenagakerjaan;
b. Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja beserta Unit Pelaksana Teknis Bidang K3;
c. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membidangi pelayanan Pengujian K3; atau d. lembaga lain yang terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri.
(5) Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh:
a. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja;
b. Penguji K3; atau
c. Ahli K3 Lingkungan Kerja.
Pasal 60
Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) meliputi: a. pertama; b. berkala; c. ulang; dan d. khusus.
Pasal 61
(1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi potensi bahaya Lingkungan Kerja di Tempat Kerja.
(2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. area kerja dengan pajanan Faktor Fisika, Faktor Kimia, Faktor Biologi, Faktor Ergonomi, dan Faktor Psikologi;
b. KUDR; dan
c. Sarana dan fasilitas Sanitasi.
Pasal
62
(1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b dilakukan secara eksternal paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sesuai dengan penilaian risiko atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2).
Pasal 63
(1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c dilakukan apabila hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebelumnya baik secara internal maupun eksternal terdapat keraguan.
(2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
64
(1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d merupakan kegiatan Pemeriksaan dan/atau Pengujian yang dilakukan setelah kecelakaan kerja atau laporan dugaan tingkat pajanan di atas NAB.
(2) Pemeriksaan dan/atau Pengujian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 65
(1) Pemeriksaan dan/atau Pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan Unit Pengawasan Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Unit Pengawasan Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dan/atau Pengujian dilakukan oleh lembaga eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf d, hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian disetujui oleh manajer teknis.
(4) Dalam hal Pemeriksaan dan/atau Pengujian dilakukan oleh lembaga eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) huruf b dan huruf c atas permintaan perusahaan, laporan hasil Pengujian disampaikan kepada perusahaan yang bersangkutan.
(5) Hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dituangkan dalam surat keterangan memenuhi/tidak memenuhi persyaratan K3 yang diterbitkan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilengkapi dengan hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian pada lembar terpisah.
(7) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dalam 3 (tiga) rangkap dengan rincian:
a. Lembar pertama, untuk Pengurus Tempat Kerja yang dimasukan dalam dokumen Pemeriksaan dan/atau Pengujian lingkungan kerja;
b. Lembar kedua, untuk unit pengawasan ketenagakerjaan setempat; dan
c. Lembar ketiga, untuk unit pengawasan ketenagakerjaan pusat.
(8) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada unit pengawasan ketenagakerjaan di pusat setiap 1 (satu) bulan sekali.
Pasal 66
Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 menggunakan formulir tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 67
(1) Area kerja yang telah dilakukan Pemeriksaan dan/atau Pengujian dan tidak memenuhi persyaratan K3 diberikan stiker yang dibubuhi stempel.
(2) Stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 68 (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dapat dilakukan secara luring maupun daring. (2) Pelaporan secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap.
BAB VI
PENINJAUAN BERKALA NILAI AMBANG BATAS
DAN STANDAR
Pasal 69
NAB dan/atau standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditinjau secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 70
Pengawasan pelaksanaan K3 Lingkungan Kerja
dilaksanakan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 71
Pengusaha dan/atau Pengurus yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Lisensi Petugas Pemantauan Lingkungan Kerja yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya lisensi tersebut dan selanjutnya disebut lisensi Ahli K3 Muda Lingkungan Kerja.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja;
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 684);
c. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.01/MEN/1978 tentang Nilai Ambang Batas Untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas Untuk Kebisingan di Tempat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 74
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2018
MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Komentar
Posting Komentar